Misteri Angka 2 dan Tali Sepatu

Juli 1981, aku lupa tanggalnya.  Sekolah-sekolah baru saja dibuka kembali setelah sebulan liburan panjang.  Aku punya status baru sebagai anak sekolah, Sekolah Dasar kelas 1.  Semua serba baru, baju putih, celana pendek merah, tas sekolah, buku tulis, pensil, rautan, karet penghapus, penggaris dan sepatu.

Aku bangun lebih awal, mandi pagi, sarapan dan ganti pakaian.  Ketika hendak berangkat, ada masalah, aku tidak bisa mengikat tali sepatu.  Setiap dicoba, selalu berakhir dengan simpul mati dan hampir selalu kedua ujungnya menjulur tidak sama panjang.  Perjalanan hidup baruku sebagai pelajar dimulai dengan misteri tali sepatu.  Untunglah Abak yang sedang menikmati kopi tubruknya menghampiri dan mengikatkan tali sepatuku.      

Tidak seperti anak-anak milenium baru yang sudah lancar berhitung, membaca dan menulis semasa di Taman Kanak-Kanak, hari pertama sekolah adalah juga hari pertama jemari kecilku memegang pensil.  Aku bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan di TK, karena letaknya yang terlalu jauh dari rumah.  Ibuku menghibur, tidak apalah tidak masuk TK, karena disana anak-anak kerjanya hanya menyanyi.  Aku tidak suka menyanyi.  

Hari pertama, pelajaran pertama adalah mengenal huruf dan angka serta menuliskannya.  Gurunya Pak Hasyim, sudah tua, penyabar dan lucu.  Aku mencoba meniru huruf-huruf yang ditulis Pak Hasyim di papan tulis dengan susah payah.  Tangan dan jemari masih kaku.  Hasilnya tidak terlalu buruk, paling tidak goresan pensilku dibuku latihan masih dapat diidentifikasi sebagai abjad latin oleh siapapun yang sudah pandai membaca, walau kadang setelah mengeryitkan dahi.

Tiba masanya menulis angka.  Tidak ada masalah untuk angka satu tentu saja.  Namun, persoalan muncul pada angka dua.  Berulang kali mencoba, tidak juga berhasil menyerupai apa yang ditulis Pak Hasyim di papan tulis.  Setiap pensil digoreskan, hasilnya aneh-aneh dan sama sekali tidak mirip angka dua.  Suatu kali, berhasil mirip angka dua, tetapi terbalik, kepala angsanya menghadap ke kanan, bukan kekiri.

Pak Hasyim membantu dengan memegang tanganku, tapi begitu tanganku ia lepas, makhluk-makhluk aneh itu keluar lagi.  Buku tulis sudah menghitam karena terlalu sering digesek dengan karet penghapus, malah ada bagian yang telah berlubang.

Aku tidak menyerah.  Waktu istirahat pun aku gunakan untuk menulis angka 2.  Yanto, anak sersan kepala polisi dan satu-satunya anak kelas satu yang sudah bisa menulis dan tulisannya rapi sekali, mencoba membantu dan menyemangati.  Tetap gagal.

Hingga waktu pulang sekolah tiba, perjuanganku untuk mewujudkan angka dua tidak membuahkan hasil.  Hari pertama sekolah ditandai dengan dua misteri terbesar dalam hidupku, tali sepatu dan angka dua.
(bersambung) 

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)